Teman Tapi Menyakitkan: Ketika Toksisitas Disamarkan Jadi Kesetiaan

Kamis, 22 Mei 2025 09:52 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Jauhi Toxic Friend
Iklan

Ketika pertemanan berubah jadi beban emosional, mungkin itu bukan lagi soal setia, tapi sinyal bahwa hubungan itu sudah tak sehat.

Tidak semua pertemanan berjalan dengan cara yang sehat. Ada kalanya, hubungan yang tampak akrab justru menyimpan ketidakseimbangan yang terus-menerus terjadi. Ketika satu pihak terus-menerus diminta untuk mengerti, mengalah, dan memaklumi, sementara pihak lainnya tidak menunjukkan usaha untuk berubah, maka saat itulah pertemanan bisa menjadi menyakitkan. Lebih menyedihkan lagi, banyak yang tidak menyadari bahwa itu adalah bentuk toksisitas yang terselubung.

Diminta Mengerti, Tapi Tak Pernah Diberi Ruang untuk Dimengerti

Ada tipe teman yang selalu menuntut pengertian, tapi tidak pernah memberikan hal yang sama. Ketika suasana hati sedang buruk, ia berharap orang-orang di sekitarnya peka dan mengerti tanpa perlu banyak penjelasan. Namun ketika orang lain mengalami kesulitan atau ingin berbagi, ia justru menutup telinga atau menyepelekan.

Sikap seperti ini sering kali membuat lingkungan pertemanan menjadi tidak seimbang. Semua berjalan atas dasar kebutuhan satu orang, bukan kebersamaan. Ketika tidak diajak atau tidak dilibatkan dalam suatu kegiatan, ia bisa marah. Padahal, kesalahannya sering kali berasal dari dirinya sendiri. Seperti lupa memberi kabar, tidak merespons undangan, atau memang abai terhadap rencana bersama. Namun, tetap saja orang lain yang disalahkan.

Lama-kelamaan, orang-orang di sekitarnya merasa harus menyesuaikan diri secara berlebihan. Tidak bisa bersikap leluasa, tidak bisa jujur mengungkapkan perasaan, bahkan harus berpikir dua kali sebelum bicara. Hal ini mengarah pada hubungan yang tidak sehat secara emosional.

Ketika Semua Usaha Tidak Ada Artinya

Dalam lingkungan pertemanan yang sehat, kritik dan masukan adalah hal wajar. Apalagi jika itu dilakukan atas dasar kepedulian. Namun tidak semua orang bisa menerima kritik, meskipun disampaikan dengan cara yang baik.

Ada kalanya, circle pertemanan berusaha membantu satu orang agar lebih disiplin, seperti mengingatkan untuk tidak terlambat, memberi saran soal sikap yang kurang pantas, atau menyampaikan pendapat secara jujur. Tapi usaha tersebut justru dianggap sebagai serangan. Padahal, tidak ada maksud buruk, semua dilakukan agar hubungan tetap berjalan baik.

Namun jika setiap saran selalu ditolak, jika setiap teguran dianggap menyudutkan, maka hubungan itu perlahan hanya akan berisi pengertian sepihak. Ditambah lagi, jika orang tersebut punya kecenderungan bersikap kekanak-kanakan seperti memutus hubungan di media sosial karena masalah kecil, atau menuduh orang lain atas overthinking yang sebenarnya muncul dari dirinya sendiri, maka ruang komunikasi menjadi makin sulit.

Usaha yang tidak dihargai akan mengikis kepercayaan. Semangat untuk memperbaiki hubungan perlahan hilang. Yang tersisa hanyalah kelelahan emosional karena terus berusaha, tanpa hasil.

Ketika Hubungan Mulai Membuat Lelah, Bukan Nyaman

Pertemanan seharusnya menjadi tempat pulang. Tempat di mana seseorang bisa menjadi diri sendiri, tanpa takut dihakimi atau dibebani. Namun jika pertemanan justru menjadi sumber rasa bersalah, tekanan, dan beban mental, maka patut dipertanyakan: apakah hubungan tersebut masih layak dipertahankan?

Ketika seseorang selalu ingin menjadi pusat perhatian, selalu ingin dibenarkan, dan tidak pernah mau berubah, maka pertemanan kehilangan esensinya. Ia bukan lagi ruang tumbuh bersama, melainkan tempat satu pihak mengontrol pihak lainnya secara emosional. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menimbulkan dampak serius terhadap kepercayaan diri dan kestabilan emosi.

Toxic friendship bukan hanya soal kekerasan verbal atau manipulasi terang-terangan. Kadang ia hadir dalam bentuk yang lebih halus: permintaan maaf yang tak pernah datang, pembelaan diri yang terus diulang, dan rasa bersalah yang selalu dilemparkan ke orang lain. Ironisnya, semua itu dibungkus dalam kata-kata “aku cuma butuh dimengerti.”

Ada Kalanya Menjaga Jarak Adalah Bentuk Peduli

Tidak semua hubungan bisa diselamatkan. Ada kalanya, menjaga jarak adalah bentuk kepedulian. Bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menjaga kewarasan dan memberi ruang bagi semua pihak untuk belajar dan memperbaiki diri.

Kesetiaan dalam pertemanan bukan berarti terus-menerus menerima perlakuan yang menyakitkan. Teman yang baik bukanlah teman yang sempurna, tapi yang mau belajar bersama, berubah bersama, dan saling menjaga. Jika salah satu pihak berhenti berusaha, maka wajar jika yang lain memilih untuk berhenti bertahan.

Menjauh bukan berarti membenci. Kadang, itu adalah bentuk dari mencintai diri sendiri—dan itu tidak salah.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Desnita Mariyani Matondang

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler